.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Rabu, 16 Januari 2013

Nyastra



PASAR

            Dulu saat aku masih duduk dibangku sekolah dasar, aku sering ikut ibuku belanja dipasar tradisional. Selain lengkap, harganya pun miring. Bahkan kadangkala bisa dinego. Dari mulai bunbu dapur hingga peralatan ibadah dijual dipasar tradisional. Tapi tempatnya semrawut,becek,panas dan banyak pencopet. Meskipun kondisinya deminikan, tetapi tetap menjadi pilihan utama bagi masyarakat melarat seperti kami. Itupun juga, karena pasar tradisional lebih memasyarakatkanmasyarakat. Disana mereka saling ngobrol dan tidak senyum “terpaksa” yang terus diulang-ulang dalam melayani pembeli.

            Tahun lalu ayahku menjual kebun untuk membiayaiku kuliah dikota. Dikota juga terdapat pasar. Kebanyakan pasarnya modern atau juga dikenal sebagai supermarket. Tempatnya sejuk dan tidak semrawut. Juga tidak kehujanan seperti dipasar tradisional. Tetapi harganya tidak boleh ditawar. Rata-rata pembelinya berkantong tebal. Taoi tidak sedikit bagi yang berkantong tipis berbelanja di supermarket. Sekali pun uang mepet dipaksa-paksa juga, demi menjaga gengsi agar dianggap seperti orang kaya atau modern.


 


            Malam itu setelah kegiatan dikampus, aku berniat jalan-jalan kesupermarket. Hanya untuk melihat lihat dan juga sekedar pegang-pegang saja. Tapi sebelum sampai kesupermarket, aku terperosok kedalam selokan. Anehnya, selokan ini berbeda dari selokan yang biasanya. Saat aku mau keluar, lubang yang membuatku jatuh tadi tertutup. Jelas saja aku teriak-teriak minta tolong. Karena tak ada yang menyahut, aku mencoba mencari jalan keluar. Aku melangkah hingga peluhku sampai keluar, semakin kedalam,ruangan yang seperti goa ini terus melebar hingga aku bisa berdiri. Kemudian aku berjalan dan terus menyusuri selokan yang kini menjadi terowongan. Tak lama kemudian, jalan dihadapanku terbagi menjadi puluhan. Rasa bingung serta cemas menghampiriku. Selokan disini memang tidak seperti selokan-selokan yang lainnya., bahkan disini baunya sangatlah wangi. Diantara puluhan jalan itu, aku memilih salah satu jalan. Aku terus berjalan hingga aku temui segerombolan orang yang saling tawar menawar, seperti ibuku yang menawar ikan asin dipasar tradisional. Rasa penasaran menuntunku untuk mendekat.

            Seorang yang memakai seragam seperti hakim sedang menjual sebuah keputusan yang berlumuran keju dan bercampur buah cery hingga membuat air liurku menetes deras. Bagiku harganya sangat mahal sekali dan aku tidak akan mampu membelinya sekali pun sampai anak-anakku hingga tujuh generasi. Tapi anehnya, ada seorang yang memakai dasi, lengkap dengan jas dan sepatu fantovel membayarnya. Dan bahkan tanpa menawarnya.

Disebelahnya, terdapat beberapa orang yang mencoba menawar beberapa potong pakaian seragam seperti tentara dan pakaian dinas PNS. Tak tanggung-tanggung, puluhan juta dibanting guna membeli. Pasar ini semakin unik saja ketika aku melihat seorang perempuan yang berteriak menginginkan kemerdekaannya sebagai perempuan. Bahkan ingin bebas, sebebas bebasnya sampai juga menawarkan dirinya ke berbagai orang yang bergaya seperti promotor film, produser, atau orang-orang yang seperti sutradara. Aku berfikir sebenarnya apa yang perempuan inginkan itu? Karier atau emansipasi?
Ah mungkin semuanya!.

            Tak jauh dari situ, seorang yang memakai tutup kepala juga menawarkan dagangannya, tapi barang yang ingin dijual tidak ada ditempat itu. Aku penasaran sehingga aku mendekat. Rupanya siorang yang memakai tutup kepala tersebut berdagang dengan cara baru. Memakai teknologi yang modern semacam ponsel. Cara membelinya, cukup ketik bla bla bla maka tak lama kemudian akan terkirim kembali kepada ponsel si pembeli sebuah pesan yag berisi berbagai macam nasehat yang dikutip dari bait-bait suci Tuhan. Hebat!. Dipasar ini, ayat suci Tuhan pun diperjual belikan secara instan.

            Luar biasa, pasar ini begitu lengkap. Banayk sekali barang-barang yang diperjualbelikan. Dari mulai keputusan,jabatan,beberepa huruf yang ditempelkan dibelakang nama seperti S,S. S.Hum, S.Kom, S.H, S.E,S.T, M.Hum, M.si, M.Pd bahkan sampai dari serta DR pun juga dijual. Ada juga kertas seperti ijazah yang dijual secara obral, bahkan sampai kepercayaan pun juga dilelang. Semakin aku masuk, rupanya keadaan yang seperti pasar ini semakin ramai. Pengunjungnya banyak sekali, mencapai milyaran manusia mungkin!.

            Berjalan sembari melihat-lihat para pedagang dan pembeli, ada dua orang yang tinggi besar menangkap tubuh kurusku dari belakang. Kontan saja aku berontak dan mencoba melepaskan diri. Tapi mereka terlalu kuat. Kemudian seorang laki-laki tambun pendek berteriak.
“masih ting-ting, masih ting-ting! Cuma satu juta. Silahkan beli!” ucap laki-laki tersebut. Aku bingung, apa maksud perkataan laki-laki tambun dengan lengan penuh tato itu? Tak lama kemudian seorang perempuan setengah baya mendekati laki-laki tambun tadi kemudian memberikan lembaran uang. Seperti sebuah tawar tawaran kesepakatan diantara mereka. Kedua laki-laki besar ya ng menangkapku tadi kemudian menyerahkankn kepada perempuan tersebut. Secepat kilatperempuan tadi menggandeng tanganku erat dan erat  sekali, serta aku diseretnya dengan paksa. Setelah kulihat dengan seksama perempuan yang manyeretku, seperti orang yang telah kukenal akrab. “istri bapak kost!!!!” kataku dalam hati

“Tante…?” aku mencoba bertanya denagn penuh sejuta rasa heran yang berkecamuk.
“Sudah, kamu diam saja, nanti tante beri komisi buat kamu. Cuma satu satu malam saja kok”. Jawab tante.
  “Astagfirullah” spontan kata itu keluar dari mulutku. Seketika aku pingsan karena kaget. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.





Sumber. Priyadi
Yang diterbitkan di Buletin Masyarakat Kata
Edisi Memperkarakan Media