PASAR
Dulu saat aku masih duduk dibangku sekolah dasar, aku
sering ikut ibuku belanja dipasar tradisional. Selain lengkap, harganya pun
miring. Bahkan kadangkala bisa dinego. Dari mulai bunbu dapur hingga peralatan
ibadah dijual dipasar tradisional. Tapi tempatnya semrawut,becek,panas dan
banyak pencopet. Meskipun kondisinya deminikan, tetapi tetap menjadi pilihan
utama bagi masyarakat melarat seperti kami. Itupun juga, karena pasar
tradisional lebih memasyarakatkanmasyarakat. Disana mereka saling ngobrol dan
tidak senyum “terpaksa” yang terus diulang-ulang dalam melayani pembeli.
Tahun lalu ayahku menjual kebun untuk membiayaiku kuliah
dikota. Dikota juga terdapat pasar. Kebanyakan pasarnya modern atau juga
dikenal sebagai supermarket. Tempatnya sejuk dan tidak semrawut. Juga tidak
kehujanan seperti dipasar tradisional. Tetapi harganya tidak boleh ditawar.
Rata-rata pembelinya berkantong tebal. Taoi tidak sedikit bagi yang berkantong
tipis berbelanja di supermarket. Sekali pun uang mepet dipaksa-paksa juga, demi
menjaga gengsi agar dianggap seperti orang kaya atau modern.
Malam itu setelah kegiatan dikampus, aku berniat
jalan-jalan kesupermarket. Hanya untuk melihat lihat dan juga sekedar
pegang-pegang saja. Tapi sebelum sampai kesupermarket, aku terperosok kedalam
selokan. Anehnya, selokan ini berbeda dari selokan yang biasanya. Saat aku mau
keluar, lubang yang membuatku jatuh tadi tertutup. Jelas saja aku teriak-teriak
minta tolong. Karena tak ada yang menyahut, aku mencoba mencari jalan keluar.
Aku melangkah hingga peluhku sampai keluar, semakin kedalam,ruangan yang
seperti goa ini terus melebar hingga aku bisa berdiri. Kemudian aku berjalan
dan terus menyusuri selokan yang kini menjadi terowongan. Tak lama kemudian,
jalan dihadapanku terbagi menjadi puluhan. Rasa bingung serta cemas
menghampiriku. Selokan disini memang tidak seperti selokan-selokan yang
lainnya., bahkan disini baunya sangatlah wangi. Diantara puluhan jalan itu, aku
memilih salah satu jalan. Aku terus berjalan hingga aku temui segerombolan
orang yang saling tawar menawar, seperti ibuku yang menawar ikan asin dipasar
tradisional. Rasa penasaran menuntunku untuk mendekat.
Seorang yang memakai seragam seperti hakim sedang menjual
sebuah keputusan yang berlumuran keju dan bercampur buah cery hingga membuat
air liurku menetes deras. Bagiku harganya sangat mahal sekali dan aku tidak
akan mampu membelinya sekali pun sampai anak-anakku hingga tujuh generasi. Tapi
anehnya, ada seorang yang memakai dasi, lengkap dengan jas dan sepatu fantovel
membayarnya. Dan bahkan tanpa menawarnya.
Disebelahnya, terdapat
beberapa orang yang mencoba menawar beberapa potong pakaian seragam seperti
tentara dan pakaian dinas PNS. Tak tanggung-tanggung, puluhan juta dibanting
guna membeli. Pasar ini semakin unik saja ketika aku melihat seorang perempuan
yang berteriak menginginkan kemerdekaannya sebagai perempuan. Bahkan ingin
bebas, sebebas bebasnya sampai juga menawarkan dirinya ke berbagai orang yang
bergaya seperti promotor film, produser, atau orang-orang yang seperti
sutradara. Aku berfikir sebenarnya apa yang perempuan inginkan itu? Karier atau
emansipasi?
Ah mungkin semuanya!.
Tak jauh dari situ, seorang yang memakai tutup kepala
juga menawarkan dagangannya, tapi barang yang ingin dijual tidak ada ditempat itu.
Aku penasaran sehingga aku mendekat. Rupanya siorang yang memakai tutup kepala
tersebut berdagang dengan cara baru. Memakai teknologi yang modern semacam
ponsel. Cara membelinya, cukup ketik bla bla bla maka tak lama kemudian akan
terkirim kembali kepada ponsel si pembeli sebuah pesan yag berisi berbagai
macam nasehat yang dikutip dari bait-bait suci Tuhan. Hebat!. Dipasar ini, ayat
suci Tuhan pun diperjual belikan secara instan.
Luar biasa, pasar ini begitu lengkap. Banayk sekali
barang-barang yang diperjualbelikan. Dari mulai keputusan,jabatan,beberepa
huruf yang ditempelkan dibelakang nama seperti S,S. S.Hum, S.Kom, S.H, S.E,S.T,
M.Hum, M.si, M.Pd bahkan sampai dari serta DR pun juga dijual. Ada juga kertas
seperti ijazah yang dijual secara obral, bahkan sampai kepercayaan pun juga
dilelang. Semakin aku masuk, rupanya keadaan yang seperti pasar ini semakin
ramai. Pengunjungnya banyak sekali, mencapai milyaran manusia mungkin!.
Berjalan sembari melihat-lihat para pedagang dan pembeli,
ada dua orang yang tinggi besar menangkap tubuh kurusku dari belakang. Kontan
saja aku berontak dan mencoba melepaskan diri. Tapi mereka terlalu kuat.
Kemudian seorang laki-laki tambun pendek berteriak.
“masih ting-ting, masih
ting-ting! Cuma satu juta. Silahkan beli!” ucap laki-laki tersebut. Aku
bingung, apa maksud perkataan laki-laki tambun dengan lengan penuh tato itu?
Tak lama kemudian seorang perempuan setengah baya mendekati laki-laki tambun
tadi kemudian memberikan lembaran uang. Seperti sebuah tawar tawaran kesepakatan
diantara mereka. Kedua laki-laki besar ya ng menangkapku tadi kemudian
menyerahkankn kepada perempuan tersebut. Secepat kilatperempuan tadi
menggandeng tanganku erat dan erat
sekali, serta aku diseretnya dengan paksa. Setelah kulihat dengan seksama
perempuan yang manyeretku, seperti orang yang telah kukenal akrab. “istri bapak
kost!!!!” kataku dalam hati
“Tante…?” aku mencoba bertanya
denagn penuh sejuta rasa heran yang berkecamuk.
“Sudah, kamu diam saja, nanti
tante beri komisi buat kamu. Cuma satu satu malam saja kok”. Jawab tante.
“Astagfirullah” spontan kata itu keluar dari
mulutku. Seketika aku pingsan karena kaget. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa
lagi.
Sumber. Priyadi
Yang diterbitkan di
Buletin Masyarakat Kata
Edisi Memperkarakan
Media