.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Senin, 31 Desember 2012

..


Ijinkan Aku Mencoba

        Dalam satu sisi hati, bagian kecil itulah yang mungkin belum aku mengerti. Begitu sulitnya aku pahami teka teki hati itu. Sesulit apapun toh saat ini hanya satu yang aku tahu. Mungkin, aku tak bisa hidup tanpa dia.

.~~#~~

            Kepalaku terasa pening. Kusadarkan diriku dalam dinding kamarku. Aku tidaklah kecanduan. Tapi, beginilah rasanya bila aku tidak ketemu dia.
“Sil, kamu gak boleh gitu donk”, kata Hilda setelah kuminta dia datang.
“kamu harus semangat. Tanpa dia kamu bisa. Kamu harus coba!”.
“semangat apapun itu Hil, aku nggak akan bisa bertahan. Sehari saja aku tidak ketemu dia, seakan tak ada lagi asa dalam hidupku. Semua terasa kelam”.
“kamu memang sudah terobsesi ma dia Sil. Kenapa kamu terus saja menggantungkan diri ma dia. Apa kamu akan terus begini?”.
Hilda, bukannya aku menolak semua nasehatmu. Tapi, aku tak akan bisa. Sebenarnya, kamu benar Hil, aku tidak boleh menggantungkan diri ma dia. Dia bukanlah siapa-siapaku. Tapi, benar-benar aku kagum ma dia. Dia hebat. Begitu hebatnya dia bisa membuatku ceria hanya dalam beberapa saat ketika aku berada dalam ketidak berdayaan dia itu spesial buat aku. Mungkin aku memang bodoh. Tapi, tiada daya bila aku harus berpisah dengannya. Seakan dialah satu-satunya harapan hidupku.

~~#~~


“Seneng banget Silvi, pasti deh gara-gara dia”, Goda Hilda ringan
“So pasti. Kayak gak tau aja. Itu kan lagu lama”
Lagi-lagi aku harus dengar nasehat Hilda agar aku sedikit demi sedikit menjauh dari dia. Memang apa salahku. Kenapa Hil, kamu paksa aku untuk berpisah dengan dia?. Dialah yang paham tentang diriku.
“Hil, apakah kamu menginginkan aku bersedih dan menangis. Apa kamu tak ingin melihat aku bahagia?”. Kataku pelan untuk membela.
“Justru karena aku sayang ma kamu Sil. Lupakan dia!. Belajarlah untuk itu!”. Katanya sambil menepuk pundakku.
Hilda, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Hil, tolonglah mengertilah aku. Jangan paksa aku untuk melakukan itu.

~~#~~

            Pagi yang membuat aku kecewa. Badanku terasa lemas terhempas dikamar. Mataku telah berkunang-kunang. Sesaat aku rasakan pening yang sangat. Tuhan, apa yang terjadi pada diriku. Aku remas kertas bersampul biru itu dan kulempar sekuat sisa-sisa tenagaku.
“ Tidak!!!”
Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus berusaha untuk melupakannya. Dia harus tersingkir dari sampingku. Akupun menangis. Lebih baik menangis untuk menahan semua luka yang harus aku lalui. Tanganku menggapai seakan ingin aku minta pertolongan. Pada siapa aku harus meminta pertolongan selain pada dia.
Tiada daya akupun terhempas. Sampai kapan aku harus merasakan sakit kepala ini. Sesekali aku pandang obat sakit kepala itu. Hanya itu yang bisa menyembuhkanku. Obat itu yang membuat aku ceria. Ya.. meski hanya 1 tablet. Dialah semangat hidupku. Tapi, tak mungkin. Aku sadar. Aku harus menghentikan minum obat itu. Aku tidak boleh ketergantungan. Ijinkanlah aku mencoba. Mencoba berpaling dari obat itu. Bagaimana caranya akan aku coba. Tiada efek apa-apa sebenarnya tapi benar kata Hilda. Meski setiap saat dialah teman hidupku tapi bukan berarti dia Tuhan yang bias menentukan umur seseorang. Dia tak bisa mengatur hidupku. Sedikit asa aku mencoba bertahan. Bertahan dan terus bertahan. Meski sakit ini belum hilang tapi aku yakin aku bisa mengatasinya meski harus berjuang.
Tubuhku semakin  lemas. Aku biarkan mata ini terpejam. Biarkan rasa sakitku pergi bersama mimpi-mimpiku. Saat ini mungkin inilah caraku lepas dari obat itu. Sedikit aku lega. Dalam desahan panjang akau mencoba tersenyum meski aku tak tahu apa yang akan terjadi saat mata ini terbuka. Ijinkanlah aku meminta. Bukan mobil mewah ataupun rumah yang megah. Yang jelas hanya keceriaan yang ingin aku miliki. Keceriaan tanpa batas dan tanpa obat sakit kepala disisiku.

~~END~~



Jogja, 1 mei 2007
Nana



Sumber.
millarossa.Blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar