Ijinkan Aku Mencoba
Dalam satu sisi hati, bagian kecil itulah yang
mungkin belum aku mengerti. Begitu sulitnya aku pahami teka teki hati itu.
Sesulit apapun toh saat ini hanya satu yang aku tahu. Mungkin, aku tak bisa
hidup tanpa dia.
.~~#~~
Kepalaku terasa pening. Kusadarkan diriku dalam dinding
kamarku. Aku tidaklah kecanduan. Tapi, beginilah rasanya bila aku tidak ketemu
dia.
“Sil, kamu gak boleh gitu
donk”, kata Hilda setelah kuminta dia datang.
“kamu harus semangat. Tanpa dia
kamu bisa. Kamu harus coba!”.
“semangat apapun itu Hil, aku
nggak akan bisa bertahan. Sehari saja aku tidak ketemu dia, seakan tak ada lagi
asa dalam hidupku. Semua terasa kelam”.
“kamu memang sudah terobsesi ma
dia Sil. Kenapa kamu terus saja menggantungkan diri ma dia. Apa kamu akan terus
begini?”.
Hilda, bukannya aku menolak
semua nasehatmu. Tapi, aku tak akan bisa. Sebenarnya, kamu benar Hil, aku tidak
boleh menggantungkan diri ma dia. Dia bukanlah siapa-siapaku. Tapi, benar-benar
aku kagum ma dia. Dia hebat. Begitu hebatnya dia bisa membuatku ceria hanya
dalam beberapa saat ketika aku berada dalam ketidak berdayaan dia itu spesial
buat aku. Mungkin aku memang bodoh. Tapi, tiada daya bila aku harus berpisah
dengannya. Seakan dialah satu-satunya harapan hidupku.
~~#~~
“Seneng banget Silvi, pasti deh
gara-gara dia”, Goda Hilda ringan
“So pasti. Kayak gak tau aja.
Itu kan lagu lama”
Lagi-lagi aku harus dengar
nasehat Hilda agar aku sedikit demi sedikit menjauh dari dia. Memang apa
salahku. Kenapa Hil, kamu paksa aku untuk berpisah dengan dia?. Dialah yang
paham tentang diriku.
“Hil, apakah kamu menginginkan
aku bersedih dan menangis. Apa kamu tak ingin melihat aku bahagia?”. Kataku
pelan untuk membela.
“Justru karena aku sayang ma
kamu Sil. Lupakan dia!. Belajarlah untuk itu!”. Katanya sambil menepuk
pundakku.
Hilda, aku tak tahu apa yang
ada dalam pikiranmu. Hil, tolonglah mengertilah aku. Jangan paksa aku untuk melakukan
itu.
~~#~~
Pagi yang membuat aku kecewa. Badanku terasa lemas
terhempas dikamar. Mataku telah berkunang-kunang. Sesaat aku rasakan pening
yang sangat. Tuhan, apa yang terjadi pada diriku. Aku remas kertas bersampul
biru itu dan kulempar sekuat sisa-sisa tenagaku.
“ Tidak!!!”
Aku
tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus berusaha untuk melupakannya. Dia harus
tersingkir dari sampingku. Akupun menangis. Lebih baik menangis untuk menahan
semua luka yang harus aku lalui. Tanganku menggapai seakan ingin aku minta
pertolongan. Pada siapa aku harus meminta pertolongan selain pada dia.
Tiada
daya akupun terhempas. Sampai kapan aku harus merasakan sakit kepala ini.
Sesekali aku pandang obat sakit kepala itu. Hanya itu yang bisa menyembuhkanku.
Obat itu yang membuat aku ceria. Ya.. meski hanya 1 tablet. Dialah semangat
hidupku. Tapi, tak mungkin. Aku sadar. Aku harus menghentikan minum obat itu.
Aku tidak boleh ketergantungan. Ijinkanlah aku mencoba. Mencoba berpaling dari
obat itu. Bagaimana caranya akan aku coba. Tiada efek apa-apa sebenarnya tapi
benar kata Hilda. Meski setiap saat dialah teman hidupku tapi bukan berarti dia
Tuhan yang bias menentukan umur seseorang. Dia tak bisa mengatur hidupku.
Sedikit asa aku mencoba bertahan. Bertahan dan terus bertahan. Meski sakit ini
belum hilang tapi aku yakin aku bisa mengatasinya meski harus berjuang.
Tubuhku
semakin lemas. Aku biarkan mata ini
terpejam. Biarkan rasa sakitku pergi bersama mimpi-mimpiku. Saat ini mungkin
inilah caraku lepas dari obat itu. Sedikit aku lega. Dalam desahan panjang akau
mencoba tersenyum meski aku tak tahu apa yang akan terjadi saat mata ini
terbuka. Ijinkanlah aku meminta. Bukan mobil mewah ataupun rumah yang megah.
Yang jelas hanya keceriaan yang ingin aku miliki. Keceriaan tanpa batas dan
tanpa obat sakit kepala disisiku.
~~END~~
Jogja,
1 mei 2007
Nana
Sumber.
millarossa.Blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar